Minggu, 17 Februari 2013

Bila Keterpaksaan Mengalahkan Segalanya...

Dikutip dari Majalah Duit
Dalam kondisi terdesak, seseorang cenderung akan memutar otak lebih keras. Seseorang mampu mencetuskan ide brilian dan memiliki semangat untuk mewujudkan mimpinya.

Suatu malam, saya ngobrol dengan seorang kawan lama via online messenger. Si kawan ini curhat masalah pekerjaan, dia bilang sistem kerja di kantornya amburadul. Sudah begitu, bosnya galak sekali. Kesalahan sekecil apa pun bisa membuat Pak Bos marah besar. Belum lagi, belakangan ini dia mendengar desas-desus bakal ada pengurangan jumlah karyawan, karena pesanan dari negeri seberang berkurang. Si kawan ini bekerja di industri garmen.

Menurut dia, kondisi perusahaan yang kurang menguntungkan itu karena daya beli pasar luar negeri yang belum pulih akibat krisis ekonomi global dan ketakutan atas pemberlakuan ASEAN China Free Trade Area (ACFTA), atau bahasa sederhananya: perdagangan bebas di antara negara-negara ASEAN dan China. Dampak perjanjian yang mulai berlaku per 1 Januari 2010 lalu itu membuat pasar lokal makin dibanjiri produk Cina.

“Pokoknya, aku udah nggak betah kerja lagi. Nggak enak,” gerutu si kawan.

Kening saya berkerut. Kalau memang sudah tidak nyaman dengan sesuatu, seharusnya dia keluar dari ketidaknyaman itu. Bukan justru membiasakan diri dengan ketidaknyaman itu. “Ya udah, resign aja. Bikin usaha sendiri,” saran saya.

Tapi, si kawan ini menangkis, “Kalau aku resign sekarang, anak dan istriku makan apa?”.

Aduh!

Semua Butuh Proses 

Kita sudah sering mendengar kisah sukses pengusaha besar. Dan, sering pula, kita membayangkan bakal sukses seperti mereka. Tapi, ada sisi lain yang terlupakan. Untuk mencapai kesuksesan itu, mereka butuh proses yang tidak sebentar. Bahkan kadang menyakitkan. Ibaratnya, mereka pernah menjalani proses 'Kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala'. Sebagai penghargaan (setelah sukses menjalani proses yang tidak mengenakkan itu), mereka kini dikenal dengan embel-embel 'pengusaha sukses'.

Sukamdani Sahid Gitosardjono, salah satunya. Ketika merantau ke Jakarta, pada 1952, pendiri dan pemilik jaringan Hotel Sahid Group ini hanya membawa sebuah kopor dan sepeda. Sebagai anak seorang pedagang, ia begitu bangga ketika bekerja di Departemen Dalam Negeri. Tapi, karena penghasilan kurang mencukupi, Sukamdani memutuskan mundur dan bekerja di sebuah percetakan. Tentu saja, pilihan itu cukup membuat resah orang tuanya. Karena zaman dahulu, menjadi PNS merupakan status yang cukup dihormati.

Dengan penghasilan masih pas-pasan, Sukamdani menikahi Juliah, gadis dari trah Mangkunegaran, kekasihnya semasa di Solo. Pasangan muda ini lalu menyewa rumah berdinding gedhek. Karena keuletan, plus pinjaman uang Rp25.000 dari mertua, Sukamdani akhirnya bisa membuka usaha percetakan sendiri.

Di rumah kontrakan yang hanya memiliki satu kamar seluas 3 x 3 meter persegi itu, Kam, panggilan karibnya, merintis bisnis percetakan. Waktu itu, dia memulainya hanya dengan dua mesin cetak hand press. “Saya sendiri yang membeli kertas, mengantarkan dan menjemput pesanan cetak, termasuk menagih biaya cetak. Waktu itu, saya ke mana-mana naik oplet,” kenang Kam, seperti dikutip tokohindonesia.com.

Dari keuntungan usaha yang ditabungnya sedikit demi sedikit, ia berhasil membeli tanah tempat ia menyewa rumah itu. Cikal bakal rumah kontrakan itu kini menjelma menjadi Hotel Sahid yang berada di Jalan Sudirman, Jakarta. “Dulu, rumah saya di sini,” kenang Sukamdani, pada sebuah kesempatan.

Kalau saja Sukamdani tidak berhenti bekerja dari tempatnya yang lama, tidak merasa kepepet butuh uang untuk menghidupi keluarga yang baru dibinanya, kemungkinan besar pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 14 Maret 1928 ini tak bakal memiliki jaringan hotel, selain memiliki pabrik semen, properti, akademi pendidikan, media massa, hingga pesantren.

Gunakan Otak Kanan

Ada dua alasan yang membuat orang tidak tergerak untuk berubah, yakni impian kurang kuat dan kurang kepepet. Dua hal itu seringkali disebut sebagai “motivasi”. Kepepet berasal dari Bahasa Jawa yang artinya terpaksa. Hanya saja, kadar keterpaksaannya sudah sangat.. sangat.. sangat terpaksa. Sudah tidak ada pilihan lain, alias tidak boleh tidak.

Kebanyakan manusia, kalau berada dalam kondisi kepepet dan tak ada pilihan lain, mereka akan cenderung memutar otak lebih keras untuk mencari jalan keluar. Sesungguhnya, manusia diciptakan dengan potensi yang luar biasa, di luar apa yang kita pikirkan. Hanya saja, potensi tersebut baru akan muncul saat kondisi kepepet. Seperti seorang nenek yang berani melompat dari lantai tiga, saat kebakaran melanda. Coba dalam kondisi normal, seseorang akan berpikir berpuluh kali lipat untuk melompat dari ketinggian.

John Paul Kotler, profesor dari Harvard Business Review mengemukakan establishing sense of urgency adalah langkah pertama untuk menggerakkan perubahan dalam sebuah organisasi. Seorang pengusaha, setelah melihat ancaman persaingan yang makin menggila atau kondisi krisis, pasti akan membuat keputusan-keputusan penting. Mereka tergerak untuk melakukan hal terbaik. Di sini lah muncul the power of kepepet alias kekuatan dari kondisi kepepet.

Seperti per atau pegas (sekadar mengingat ilmu Fisika zaman sekolah menengah), ketika ditekan lebih keras, maka akan muncul gaya tolak yang lebih besar. Semakin kepepet, maka seseorang akan semakin kreatif.

Menariknya, banyak pengusaha yang memulai bisnis dari kondisi kepepet, entah itu karena menjadi korban (atau bakal jadi korban) PHK, akan memasuki masa pensiun, tak kunjung diterima bekerja di perusahaan setelah lulus kuliah, terpaksa drop out dari perguruan tinggi karena orang tua tak mampu lagi membiayai, mengalami sakit/kecelakaan yang membuat kemampuan fisik tak lagi sempurna, atau karena tiba-tiba berubah status menjadi single parent yang memaksa seseorang harus menghidupi keluarga secara mandiri.

Ketika akan memulai usaha, hal pertama yang muncul di pikiran adalah: modalnya dari mana? Setelah mendapatkan modal, biasanya Anda akan kembali berpikir, bisnis apa yang cocok untuk usaha baru ini? Kalau sudah menemukan bisnis yang cocok, biasanya Anda akan memulai perhitungan yang lumayan njlimet untuk keperluan bisnis, seperti sewa tempat, stok barang, biaya promosi, dan sebagainya.

Selanjutnya, biasanya lagi, Anda akan mulai menghitung kemungkinan untung rugi dai bisnis yang bakal Anda mulai. Lalu, berturut-turut muncul pertanyaan seperti ini, bagaimana kalau usaha restoran saya sepi pengunjung? Bagaimana kalau usaha warnet saya tiba-tiba punya pesaing baru? Bagaimana kalau karyawan saya nanti korupsi? Bagaimana kalau nanti bisnis ekspedisi ini bangkrut?

“Kalau Anda masih berpikir seperti itu, berarti Anda masih berpikir dengan otak kiri,” tegas Purdi E. Chandra, pemilik lembaga bimbingan belajar Primagama sekaligus pendiri Entrepreneur University. Seharusnya, sambung Purdi, kalau sudah punya keinginan untuk merintis usaha seharusnya Anda mulai menggunakan otak kanan.

Sebenarnya, seperti apa sih otak kanan itu? Menurut literatur, otak kanan merupakan gudangnya kreativitas dan spontanitas. Sedangkan otak kiri sebaliknya, yakni otak yang suka menganalisis dan mempertimbangkan.

“Kalau mau mulai usaha, gunakan otak kanan. Action, dulu! Jangan dulu mikir begini begitu,” kata Agus Pramono, pemilik Ayam Bakar Mas Mono. Menurut dia, bila seseorang sudah berniat untuk menjadi entrepreneur harus memiliki pikiran positif. Selalu optimistis, tekun, sabar, dan bersemangat.

Mono lalu menceritakan bagaimana dia dulu langsung action begitu melihat lahan kosong di seberang Universitas Sahid, tempat dia mangkal berjualan gorengan. Mono lalu mencari tahu bagaimana dia memperoleh sepetak lahan kosong yang di kiri-kanannya sudah ada warung rokok dan warung seafood. “Saya langsung kepikiran bikin usaha ayam bakar. Karena, banyak orang suka makan nasi dan ayam. Selain itu, di wilayah tersebut banyak anak-anak kuliah, pekerja kantoran, maupun orang-orang yang lewat Jalan Soepomo. Usaha pasti bisa ramai. Dan, yang pasti, bisa ngasih keuntungan lebih besar daripada sekadar jualan gorengan,” urai Mono.

Benar saja, dalam hitungan bulan, warung ayam bakar milik pemuda asli Madiun itu banyak peminatnya. Bahkan, setiap harinya, Mono, dengan enam karyawannya, mampu melayani pesanan ratusan nasi kotak untuk beberapa stasiun televisi swasta.

Namun, Christovita Wiloto, CEO & Managing Partner Wiloto Corp., mengingatkan bahwa pengusaha sebaiknya tidak menggunakan ilmu the power kepepet saat bisnis sudah berjalan. Menurut Christov, the power of kepepet adalah the power of survive (kekuatan untuk bertahan hidup). Ia khawatir karena terus-terusan berada dalam kondisi kepepet, pengusaha tidak memperhatikan soal strategi mengembangkan usaha secara jangka panjang. Tapi hanya membuat keputusan-keputusan jangka pendek untuk bisa bertahan hidup. “Jangan kepepet terus-terusan. Bisnis harus dikelola dengan menggunakan strategi yang baik, biar bisa berkembang dan menguntungkan,” urai mantan Agency Secretary Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ini.

Adapun Helmi Yahya, pemilik rumah produksi Triwarsana dan Dreamlight ini mengaku bahwa semangat, yang berasal dari faktor kepepet tadi, bisa menjadi bola salju bila dibarengi perencanaan bisnis dan persiapan yang matang. “Semangat, passion, niat, dan strategi adalah modal yang luar biasa bagi seseorang untuk menjadi entrepreneur sejati,” kata adik kandung Tantowi Yahya ini.

Ciptakan Kondisi Kepepet 

Memang, kondisi terhimpit biasanya akan memunculkan ide brilian dan membuat orang lebih berani untuk memulai usaha. “Kondisi kepepet itu mengalahkan semua tantangan, seperti rasa malu, malas, tidak percaya diri, atau tidak berani beresiko,” kata Elly Susilowati, pemilik PT Ethree Abadi, pembuat sepatu buatan tangan.

Sebaliknya, bila keadaan terasa aman damai sejahtera, maka seseorang kurang mendapatkan semangat untuk memulai usaha. “Ketika seseorang sudah biasa dalam kondisi ketidakpastian, ia akan lebih berani untuk berbisnis daripada temannya yang terbiasa hidup dalam dunia yang selalu pasti,” kata Purdy.

Menurut Jaya Setia Budi, penulis buku The Power of Kepepet, selama ini banyak mitos yang salah mengenai entrepreneurship. “Selama ini, seringkali orang terjebak mitos bahwa berbisnis itu sulit, butuh modal besar, butuh bakat dan pengalaman, atau entrepreneurship itu diwariskan lewat garis keturunan,” keluh Jaya.

Hal ini membuat banyak orang, termasuk jutaan mahasiswa tingkat akhir lebih memilih untuk mengirimkan surat lamaran pekerjaan ketimbang menyusun proposal bisnisnya sendiri. Padahal, memulai bisnis bisa dilakukan siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, selama ada niat yang kuat. Sialnya, niat yang luar biasa kuat ini kadang baru muncul bila dalam kondisi kepepet.

Jadi, bila Anda masih berana dalam zona nyaman, belum akan di-PHK, belum akan digusur, atau belum akan sakit, setidaknya mulailah “menciptakan” kondisi kepepet versi Anda sendiri. Misalnya, menggunakan dana pinjaman untuk modal usaha. Otomatis, Anda akan merasa “kepepet” untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut. Atau, susun target (atau bisa juga disebut impian) yang memacu Anda untuk meraihnya. Misalnya, target memiliki rumah sendiri, ketimbang mengontrak sana-sini, dalam lima tahun.

Menyitir perkataan Anggun, penyanyi Indonesia yang sudah mendunia, bila Anda punya mimpi, bangun dari tidur, mandi, lalu bekerja ekstra keras untuk mewujudkan mimpi itu. Selamat berjuang! (AWN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar