Dikutip dari Majalah Duit
Dalam kondisi terdesak, seseorang cenderung akan memutar otak lebih
keras. Seseorang mampu mencetuskan ide brilian dan memiliki semangat
untuk mewujudkan mimpinya.
Suatu malam, saya ngobrol dengan seorang kawan lama via online
messenger. Si kawan ini curhat masalah pekerjaan, dia bilang sistem
kerja di kantornya amburadul. Sudah begitu, bosnya galak sekali.
Kesalahan sekecil apa pun bisa membuat Pak Bos marah besar. Belum lagi,
belakangan ini dia mendengar desas-desus bakal ada pengurangan jumlah
karyawan, karena pesanan dari negeri seberang berkurang. Si kawan ini
bekerja di industri garmen.
Menurut dia, kondisi perusahaan yang kurang menguntungkan itu karena
daya beli pasar luar negeri yang belum pulih akibat krisis ekonomi
global dan ketakutan atas pemberlakuan ASEAN China Free Trade Area
(ACFTA), atau bahasa sederhananya: perdagangan bebas di antara
negara-negara ASEAN dan China. Dampak perjanjian yang mulai berlaku per 1
Januari 2010 lalu itu membuat pasar lokal makin dibanjiri produk Cina.
“Pokoknya, aku udah nggak betah kerja lagi. Nggak enak,” gerutu si kawan.
Kening saya berkerut. Kalau memang sudah tidak nyaman dengan sesuatu,
seharusnya dia keluar dari ketidaknyaman itu. Bukan justru membiasakan
diri dengan ketidaknyaman itu. “Ya udah, resign aja. Bikin usaha
sendiri,” saran saya.
Tapi, si kawan ini menangkis, “Kalau aku resign sekarang, anak dan istriku makan apa?”.
Aduh!
Semua Butuh Proses
Kita sudah sering mendengar kisah sukses pengusaha besar. Dan, sering
pula, kita membayangkan bakal sukses seperti mereka. Tapi, ada sisi lain
yang terlupakan. Untuk mencapai kesuksesan itu, mereka butuh proses
yang tidak sebentar. Bahkan kadang menyakitkan. Ibaratnya, mereka pernah
menjalani proses 'Kepala menjadi kaki, kaki menjadi kepala'. Sebagai
penghargaan (setelah sukses menjalani proses yang tidak mengenakkan
itu), mereka kini dikenal dengan embel-embel 'pengusaha sukses'.
Sukamdani Sahid Gitosardjono, salah satunya. Ketika merantau ke Jakarta,
pada 1952, pendiri dan pemilik jaringan Hotel Sahid Group ini hanya
membawa sebuah kopor dan sepeda. Sebagai anak seorang pedagang, ia
begitu bangga ketika bekerja di Departemen Dalam Negeri. Tapi, karena
penghasilan kurang mencukupi, Sukamdani memutuskan mundur dan bekerja di
sebuah percetakan. Tentu saja, pilihan itu cukup membuat resah orang
tuanya. Karena zaman dahulu, menjadi PNS merupakan status yang cukup
dihormati.
Dengan penghasilan masih pas-pasan, Sukamdani menikahi Juliah, gadis
dari trah Mangkunegaran, kekasihnya semasa di Solo. Pasangan muda ini
lalu menyewa rumah berdinding gedhek. Karena keuletan, plus pinjaman
uang Rp25.000 dari mertua, Sukamdani akhirnya bisa membuka usaha
percetakan sendiri.
Di rumah kontrakan yang hanya memiliki satu kamar seluas 3 x 3 meter
persegi itu, Kam, panggilan karibnya, merintis bisnis percetakan. Waktu
itu, dia memulainya hanya dengan dua mesin cetak hand press. “Saya
sendiri yang membeli kertas, mengantarkan dan menjemput pesanan cetak,
termasuk menagih biaya cetak. Waktu itu, saya ke mana-mana naik oplet,”
kenang Kam, seperti dikutip tokohindonesia.com.
Dari keuntungan usaha yang ditabungnya sedikit demi sedikit, ia berhasil
membeli tanah tempat ia menyewa rumah itu. Cikal bakal rumah kontrakan
itu kini menjelma menjadi Hotel Sahid yang berada di Jalan Sudirman,
Jakarta. “Dulu, rumah saya di sini,” kenang Sukamdani, pada sebuah
kesempatan.
Kalau saja Sukamdani tidak berhenti bekerja dari tempatnya yang lama,
tidak merasa kepepet butuh uang untuk menghidupi keluarga yang baru
dibinanya, kemungkinan besar pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 14 Maret
1928 ini tak bakal memiliki jaringan hotel, selain memiliki pabrik
semen, properti, akademi pendidikan, media massa, hingga pesantren.
Gunakan Otak Kanan
Ada dua alasan yang membuat orang tidak tergerak untuk berubah, yakni
impian kurang kuat dan kurang kepepet. Dua hal itu seringkali disebut
sebagai “motivasi”. Kepepet berasal dari Bahasa Jawa yang artinya
terpaksa. Hanya saja, kadar keterpaksaannya sudah sangat.. sangat..
sangat terpaksa. Sudah tidak ada pilihan lain, alias tidak boleh tidak.
Kebanyakan manusia, kalau berada dalam kondisi kepepet dan tak ada
pilihan lain, mereka akan cenderung memutar otak lebih keras untuk
mencari jalan keluar. Sesungguhnya, manusia diciptakan dengan potensi
yang luar biasa, di luar apa yang kita pikirkan. Hanya saja, potensi
tersebut baru akan muncul saat kondisi kepepet. Seperti seorang nenek
yang berani melompat dari lantai tiga, saat kebakaran melanda. Coba
dalam kondisi normal, seseorang akan berpikir berpuluh kali lipat untuk
melompat dari ketinggian.
John Paul Kotler, profesor dari Harvard Business Review mengemukakan
establishing sense of urgency adalah langkah pertama untuk menggerakkan
perubahan dalam sebuah organisasi. Seorang pengusaha, setelah melihat
ancaman persaingan yang makin menggila atau kondisi krisis, pasti akan
membuat keputusan-keputusan penting. Mereka tergerak untuk melakukan hal
terbaik. Di sini lah muncul the power of kepepet alias kekuatan dari
kondisi kepepet.
Seperti per atau pegas (sekadar mengingat ilmu Fisika zaman sekolah
menengah), ketika ditekan lebih keras, maka akan muncul gaya tolak yang
lebih besar. Semakin kepepet, maka seseorang akan semakin kreatif.
Menariknya, banyak pengusaha yang memulai bisnis dari kondisi kepepet,
entah itu karena menjadi korban (atau bakal jadi korban) PHK, akan
memasuki masa pensiun, tak kunjung diterima bekerja di perusahaan
setelah lulus kuliah, terpaksa drop out dari perguruan tinggi karena
orang tua tak mampu lagi membiayai, mengalami sakit/kecelakaan yang
membuat kemampuan fisik tak lagi sempurna, atau karena tiba-tiba berubah
status menjadi single parent yang memaksa seseorang harus menghidupi
keluarga secara mandiri.
Ketika akan memulai usaha, hal pertama yang muncul di pikiran adalah:
modalnya dari mana? Setelah mendapatkan modal, biasanya Anda akan
kembali berpikir, bisnis apa yang cocok untuk usaha baru ini? Kalau
sudah menemukan bisnis yang cocok, biasanya Anda akan memulai
perhitungan yang lumayan njlimet untuk keperluan bisnis, seperti sewa
tempat, stok barang, biaya promosi, dan sebagainya.
Selanjutnya, biasanya lagi, Anda akan mulai menghitung kemungkinan
untung rugi dai bisnis yang bakal Anda mulai. Lalu, berturut-turut
muncul pertanyaan seperti ini, bagaimana kalau usaha restoran saya sepi
pengunjung? Bagaimana kalau usaha warnet saya tiba-tiba punya pesaing
baru? Bagaimana kalau karyawan saya nanti korupsi? Bagaimana kalau nanti
bisnis ekspedisi ini bangkrut?
“Kalau Anda masih berpikir seperti itu, berarti Anda masih berpikir
dengan otak kiri,” tegas Purdi E. Chandra, pemilik lembaga bimbingan
belajar Primagama sekaligus pendiri Entrepreneur University. Seharusnya,
sambung Purdi, kalau sudah punya keinginan untuk merintis usaha
seharusnya Anda mulai menggunakan otak kanan.
Sebenarnya, seperti apa sih otak kanan itu? Menurut literatur, otak
kanan merupakan gudangnya kreativitas dan spontanitas. Sedangkan otak
kiri sebaliknya, yakni otak yang suka menganalisis dan mempertimbangkan.
“Kalau mau mulai usaha, gunakan otak kanan. Action, dulu! Jangan dulu
mikir begini begitu,” kata Agus Pramono, pemilik Ayam Bakar Mas Mono.
Menurut dia, bila seseorang sudah berniat untuk menjadi entrepreneur
harus memiliki pikiran positif. Selalu optimistis, tekun, sabar, dan
bersemangat.
Mono lalu menceritakan bagaimana dia dulu langsung action begitu melihat
lahan kosong di seberang Universitas Sahid, tempat dia mangkal
berjualan gorengan. Mono lalu mencari tahu bagaimana dia memperoleh
sepetak lahan kosong yang di kiri-kanannya sudah ada warung rokok dan
warung seafood. “Saya langsung kepikiran bikin usaha ayam bakar. Karena,
banyak orang suka makan nasi dan ayam. Selain itu, di wilayah tersebut
banyak anak-anak kuliah, pekerja kantoran, maupun orang-orang yang lewat
Jalan Soepomo. Usaha pasti bisa ramai. Dan, yang pasti, bisa ngasih
keuntungan lebih besar daripada sekadar jualan gorengan,” urai Mono.
Benar saja, dalam hitungan bulan, warung ayam bakar milik pemuda asli
Madiun itu banyak peminatnya. Bahkan, setiap harinya, Mono, dengan enam
karyawannya, mampu melayani pesanan ratusan nasi kotak untuk beberapa
stasiun televisi swasta.
Namun, Christovita Wiloto, CEO & Managing Partner Wiloto Corp.,
mengingatkan bahwa pengusaha sebaiknya tidak menggunakan ilmu the power
kepepet saat bisnis sudah berjalan. Menurut Christov, the power of
kepepet adalah the power of survive (kekuatan untuk bertahan hidup). Ia
khawatir karena terus-terusan berada dalam kondisi kepepet, pengusaha
tidak memperhatikan soal strategi mengembangkan usaha secara jangka
panjang. Tapi hanya membuat keputusan-keputusan jangka pendek untuk bisa
bertahan hidup. “Jangan kepepet terus-terusan. Bisnis harus dikelola
dengan menggunakan strategi yang baik, biar bisa berkembang dan
menguntungkan,” urai mantan Agency Secretary Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) ini.
Adapun Helmi Yahya, pemilik rumah produksi Triwarsana dan Dreamlight ini
mengaku bahwa semangat, yang berasal dari faktor kepepet tadi, bisa
menjadi bola salju bila dibarengi perencanaan bisnis dan persiapan yang
matang. “Semangat, passion, niat, dan strategi adalah modal yang luar
biasa bagi seseorang untuk menjadi entrepreneur sejati,” kata adik
kandung Tantowi Yahya ini.
Ciptakan Kondisi Kepepet
Memang, kondisi terhimpit biasanya akan memunculkan ide brilian dan
membuat orang lebih berani untuk memulai usaha. “Kondisi kepepet itu
mengalahkan semua tantangan, seperti rasa malu, malas, tidak percaya
diri, atau tidak berani beresiko,” kata Elly Susilowati, pemilik PT
Ethree Abadi, pembuat sepatu buatan tangan.
Sebaliknya, bila keadaan terasa aman damai sejahtera, maka seseorang
kurang mendapatkan semangat untuk memulai usaha. “Ketika seseorang sudah
biasa dalam kondisi ketidakpastian, ia akan lebih berani untuk
berbisnis daripada temannya yang terbiasa hidup dalam dunia yang selalu
pasti,” kata Purdy.
Menurut Jaya Setia Budi, penulis buku The Power of Kepepet, selama ini
banyak mitos yang salah mengenai entrepreneurship. “Selama ini,
seringkali orang terjebak mitos bahwa berbisnis itu sulit, butuh modal
besar, butuh bakat dan pengalaman, atau entrepreneurship itu diwariskan
lewat garis keturunan,” keluh Jaya.
Hal ini membuat banyak orang, termasuk jutaan mahasiswa tingkat akhir
lebih memilih untuk mengirimkan surat lamaran pekerjaan ketimbang
menyusun proposal bisnisnya sendiri. Padahal, memulai bisnis bisa
dilakukan siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, selama ada niat yang
kuat. Sialnya, niat yang luar biasa kuat ini kadang baru muncul bila
dalam kondisi kepepet.
Jadi, bila Anda masih berana dalam zona nyaman, belum akan di-PHK, belum
akan digusur, atau belum akan sakit, setidaknya mulailah “menciptakan”
kondisi kepepet versi Anda sendiri. Misalnya, menggunakan dana pinjaman
untuk modal usaha. Otomatis, Anda akan merasa “kepepet” untuk
mengembalikan dana pinjaman tersebut. Atau, susun target (atau bisa juga
disebut impian) yang memacu Anda untuk meraihnya. Misalnya, target
memiliki rumah sendiri, ketimbang mengontrak sana-sini, dalam lima
tahun.
Menyitir perkataan Anggun, penyanyi Indonesia yang sudah mendunia, bila
Anda punya mimpi, bangun dari tidur, mandi, lalu bekerja ekstra keras
untuk mewujudkan mimpi itu. Selamat berjuang! (AWN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar