Dikisahkan, di sudut atap sebuah rumah yang sudah tua, tampak
seekor laba-laba yang setiap hari bekerja membuat sarangnya dengan giat
dan rajin.
Suatu hari, hujan turun dengan derasnya dan angin
bertiup sangat kencang. Rumah tua itu bocor di sana-sini dan sarang
laba-laba pun rusak terkena bocoran air serta hempasan angin. Tembok
menjadi basah dan licin. Tampak si laba-laba dengan susah payah berusaha
merayap naik. Tetapi karena tembok licin, laba-laba pun terjatuh. Ia
terus bersusah payah untuk merayap naik, tetapi jatuh dan jatuh lagi.
Begitu terus berulang-ulang. Tetapi, laba-laba itu ternyata tetap
berusaha merayap naik dengan kegigihan yang luar biasa.
Rumah tua
itu dihuni oleh tiga orang kakak beradik yang masih muda usianya. Saat
kejadian itu berlangsung, kebetulan mereka bertiga sedang menyaksikan
tingkah laku si laba-laba tadi. Dan berikut adalah komentar-komentar
mereka:
Si sulung dengan menghela napas berkata: "Nasibku sama
dengan laba-laba itu. Meskipun aku telah berusaha dengan susah payah dan
terus menerus, tetapi tetap saja hasilnya nol. Sia-sia belaka! Memang
beginilah nasibku. Meskipun telah berusaha sekuat apa pun percuma saja.
Tidak bisa berubah !”
Pemuda kedua dengan santai berkomentar:
"Laba-laba itu bodoh sekali ! Kenapa tidak mencari jalan yang kering
dengan memutar kemudian merayap naik ? Aku tidak akan sebodoh dia. Kelak
bila ada kesulitan, aku akan mencari jalan pintas. Aku pasti memakai
otak mencari akal untuk menghindari kesulitan. Tidak perlu bersusah
payah menghadapinya.”
Lain lagi pendapat si bungsu. Melihat
kegigihan laba-laba tadi, hatinya sangat tergugah. Beginilah
komentarnya: "Laba-laba itu begitu kecil, tetapi memiliki semangat
pantang menyerah yang luar biasa ! Dalam hal ketabahan dan keuletan, aku
harus belajar dari semangat laba-laba itu. Dengan mencontoh semangat
juang seperti itu, suatu hari aku pasti bisa meraih kesuksesan !”
Cerita
laba-laba di atas sungguh inspiratif sekali. Sudut pandang yang berbeda
dalam melihat sebuah persoalan yang terjadi akan melahirkan penanganan
yang berbeda. Dan cara penanganan yang berbeda tentunya akan
mendatangkan hasil yang berbeda pula.
Cara pandang sulung
memperlihatkan sosok yang tanpa motivasi, tanpa target hidup yang pasti,
pasrah, mudah putus asa, dan bergantung pada apa yang disebutnya
"nasib”. Inilah perspektif yang paling menghambat langkah seseorang
untuk meraih keberhasilan. Jika kita menganut sudut pandang seperti ini,
dijamin keberhasilan akan jauh dari jangkauan kita.
Sebaliknya,
perspektif pemuda kedua menunjukkan tanda-tanda sebuah pribadi yang
oportunis dan sangat pragmatis. Dalam menghadapi setiap persoalan,
pilihan yang ditempuhnya adalah menghindari atau lari dari persoalan
tersebut. Jika toh harus dihadapinya, maka ditempuhlah jalan-jalan
pintas dengan menghalalkan segala cara, asalkan tujuannya tercapai.
Bukannya mencari pemecahan dengan kreativitas dan kecerdasan, tetapi
lebih menggunakan cara-cara yang tidak benar, mengelabui, curang,
melanggar etika, dan mengabaikan hak-hak orang lain. Jika setiap kali
menemui rintangan dan kita bersikap demikian. Maka bisa dipastikan
mental kita akan menjadi lemah, rapuh, dan besar kemungkinan menjadi
manusia "raja tega” yang negatif.
Dan tentu saja, saya setuju dengan pendapat si bungsu.
Kegigihan
adalah semangat pantang menyerah yang harus kita miliki untuk mencapai
kesuksesan. Setiap persoalan merupakan batu penguji yang harus
dipecahkan dan dihadapi dengan penuh keberanian. Kita harus membiasakan
diri melihat setiap masalah yang muncul sebagai suatu hal yang wajar dan
harus dihadapi, bukan menghindar atau melarikan diri dari masalah.
Sesungguhnya,
kualitas kematangan mental seseorang dibangun dari fondasi banyaknya
hambatan, masalah, kelemahan, dan problem kesulitan yang mampu diatasi.
Dan
jelas sekali, dengan bekal kegigihan, ketabahan, dan usaha yang
konsisten, kesuksesan yang kita peroleh pasti berkualitas dan
membanggakan, membahagiakan !.
Andri Wongso, Buku Wisdom Success 15
Sumber : http://bahagia.us/_g.php?_g=_lhti_forum&Bid=487
Tidak ada komentar:
Posting Komentar