Menjadi manusia yang ikhlas dan pasrah dalam menjalani hidup dan
ketentuan transendental merupakan salah satu konsep Islam yang penting.
Apapun yang dikerjakan umat Muslim untuk kebaikan, termasuk menjalankan
perintah Allah dan menghentikan larangan-Nya, haruslah dijalani dengan
ikhlas, seperti disampaikan Allah dalam Surat (4) An Nisaa' ayat 125: Dan
siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan.
Sikap hidup yang ikhlas membuat batin menjadi kaya dan hidup lebih enteng untuk dijalani. lkhlas mencerminkan adanya kesadaran atau kemauan untuk mengerjakan segala sesuatu dengan maksimal dan melakukan introspeksi untuk perbaikan-betapapun beratnya beban yang harus dipikul. Secara spiritual, ikhlas merupakan sikap dan perilaku manusia dengan kecerdasan transendental yang tinggi.
Bilamana sikap ikhlas benar-benar dijalani, maka manusia harus pasrah menerima hasilnya. Pasrah dalam pengertian ini tidak seperti pemahaman sempit yang selama ini dianut mayoritas umat. Kebanyakan umat bersikap pasrah saja, padahal mereka belum berbuat secara maksimal menggunakan segala potensi akal-budi dan cara yang diridhai Allah. Sikap pasrah hanya bisa muncul bilamana seluruh potensi akal-budi, ikhtiar, dan doa telah dimanfaatkan secara maksimal untuk mencapai tujuan. Apapun hasilnya, sesuai keinginan atau tidak, selayaknya hal itu wajib diterima tanpa banyak menyalahkan pihak lain: Tuhan, orang lain, keadaan, dan sebagainya.
Allah telah mengingatkan sikap kaum Muslim dalam menerima hasil dari setiap doa dan ikhtiarnya dalam Surat (57) Al-Hadid ayat 23: Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.
Seperti telah disinggung dalam tulisan terdahulu, esensi dari ketakwaan adalah keberhasilan manusia melewati berbagai cobaan dalam hidupnya. Allah akan memberikan cobaan kepada siapa saja, apalagi terhadap orang-orang yang mengaku beriman, seperti difirmankan Allah dalam Surat (29) Al Ankabuut ayat 2: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) rnengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
Sungguh berat untuk menjadi orang yang beriman karena Allah tidak main-main dalam menguji mereka. Perhatikan ayat Allah Surat (2) Al Baqarah ayat 155: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadanya dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Ujian kesabaran dan ketakwaan sedemikian banyak wujudnya dan juga berat. Ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa (keluarga meninggal), sakit, fitnah, iri dengki, penghinaan, dan sebagainya. Dalam Surat (63) Al Munaafiquun ayat 9 Allah juga memperingatkan manusia tentang cobaan yang disebabkan oleh harta yang melimpah dan anak-anak: Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
Kelebihan harta sangat mudah menyesatkan manusia. Pun kasih sayang berlebihan terhadap anak-anak bisa berbuah mudharat terhadap anak-anak itu sendiri di samping tidak mendidik dan melalaikan manusia untuk mengingatAllah. Keinginan memperturutkan keinginan anak-anak tanpa kendali akan menjadikan manusia bekerja terlalu keras dan melupakan ibadah serta menabrak pagar aturan yang ada. Banyak sekali contoh hal ini yang kita temukan di dalam lingkungan kehidupan masing-masing. Wajar bila Allah memperingatkan hat ini secara khusus.
Cobaan dan musibah akan senantiasa menimpa umat Muslim. Satu hal yang pasti, semuanya itu datang dari Allah, yang bisa kita baca dari Surat (64) At Taghaabun ayat 11: Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Semakin tinggi kualitas ketakwaan seseorang, semakin berat pula cobaan yang dihadapi. Ujian demi ujian itu akan menentukan apakah manusia tergolong umat yang bertakwa atau tidak. Sebagian kecil manusia mungkin lulus dari ujian demi ujian itu, tetapi sebagian besar gagal menggapai derajat ketakwaan yang lebih tinggi. Mereka yang lulus memperoleh petunjuk dari Allah dengan tetap sabar sembari mengambil hikmah dari setiap ujian yang harus dilalui. Perhatikan firman Allah dalam Surat (2) Al Baqarah ayat 45 dan 46: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya.
Bagi mereka yang bertakwa, cobaan hidup dipandang sebagai satu hal yang patut disyukuri karena dengan demikian Allah masih sayang kepada kita. lngat Surat (64) At Taghaabun ayat 11 di atas, bahwa semua musibah datangnya dari Allah jua - bukan dari siapa-siapa. Simak pula Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Al Hakim dan lain-lain: Sesungguhnya Allah Ta'ala akan (mendatangkan) cobaan bagi onang mukmin dan tiadalah (maksud) cobaan-Nya itu melainkan sebagai kemuliaan baginya.
Kecuali menentukan ujian dan siapa yang memperoleh ujian tersebut, Allah telah menyatakan bahwa pada dasarnya ujian yang dibebankan kepada seseorang disesuaikan dengan kesanggupan orang itu, sebagaimana firman Allah dalam Surat (23) Al Mu'minuun ayat 62: Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.
Firman Allah ini perlu kita camkan baik-baik karena manusia cenderung merasa setiap cobaan yang diberikan Allah terlalu berat untuk dipikul. Ayat Al Quran di atas menegaskan persepsi manusia itu salah besar. Pertama, persepsi bahwa cobaan itu terlalu berat untuk dipikul pada akhirnya menjadi keyakinan akal-budi sehingga cobaan itu akhirnya benar-benar berat adanya. Dengan sendirinya, daya dukung individu terhadap cobaan itu sudah melemah, bahkan sebelum cobaan itu mencapai titik puncaknya.
Kedua, meskipun sebetulnya setiap manusia dibekali kesanggupan untuk menerima cobaan itu, namun rendahnya kesadaran diri dan ketakwaan menyebabkan cara manusia menyikapi dan menjalani cobaan tidak pernah ikhlas dan pasrah. Tidak pernah muncul kesadaran diri bahwa cobaan datang dari Allah untuk menguji kesabaran dan ketakwaan kita dengan berusaha mengambil hikmahnya. Oleh sebab itu, jalan yang dipilih tidak lagi jalan yang penuh berkah dan keselamatan, melainkan-sebaliknya -jalan pintas yang akan menyengsarakan karena melenceng dari aturan transendental.
Dalam menghadapi setiap cobaan, kita harus yakin akan janji Allah di atas, bahwa beban diberikan-Nya kepada manusia sudah disesuaikan dengan kesanggupan manusia itu sendiri. Adalah tugas manusia untuk merespons cobaan itu dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan jalan Allah. Karena apa? Karena Allah telah menegaskan dalam Surat (94) Al Insyirah ayat 5: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah, mereka yakin sepenuhnya bahwa tidak selamanya kesulitan itu akan terjadi bila ditanggapi dengan benar menurut aturan Allah. Kesulitan itu akan ada akhirnya, dan akan berganti dengan kemudahan. Sikap ikhlas dan pasrah menjalani ujian akan memperoleh bayaran yang setimpal dari Allah SWT. Kita dilarang Allah untuk bersedih atau bahkan terpuruk dan salah jalan menyikapi setiap ujian dari Allah. Ingat firman Allah dalam Surat (3) Ali Imran 139: Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
Tegar, sabar, terus berikhtiar, berdoa, bersyukur serta pasrah menerima ketentuanNya, sungguh mulia mereka yang berhasil mendapatkan resep utama kebahagiaan dunia-akhirat tersebut. Sebab, Allah telah berjanji dalam Surat (16) An Nahl ayat 110:
Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benarMaha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sikap hidup yang ikhlas membuat batin menjadi kaya dan hidup lebih enteng untuk dijalani. lkhlas mencerminkan adanya kesadaran atau kemauan untuk mengerjakan segala sesuatu dengan maksimal dan melakukan introspeksi untuk perbaikan-betapapun beratnya beban yang harus dipikul. Secara spiritual, ikhlas merupakan sikap dan perilaku manusia dengan kecerdasan transendental yang tinggi.
Bilamana sikap ikhlas benar-benar dijalani, maka manusia harus pasrah menerima hasilnya. Pasrah dalam pengertian ini tidak seperti pemahaman sempit yang selama ini dianut mayoritas umat. Kebanyakan umat bersikap pasrah saja, padahal mereka belum berbuat secara maksimal menggunakan segala potensi akal-budi dan cara yang diridhai Allah. Sikap pasrah hanya bisa muncul bilamana seluruh potensi akal-budi, ikhtiar, dan doa telah dimanfaatkan secara maksimal untuk mencapai tujuan. Apapun hasilnya, sesuai keinginan atau tidak, selayaknya hal itu wajib diterima tanpa banyak menyalahkan pihak lain: Tuhan, orang lain, keadaan, dan sebagainya.
Allah telah mengingatkan sikap kaum Muslim dalam menerima hasil dari setiap doa dan ikhtiarnya dalam Surat (57) Al-Hadid ayat 23: Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.
Seperti telah disinggung dalam tulisan terdahulu, esensi dari ketakwaan adalah keberhasilan manusia melewati berbagai cobaan dalam hidupnya. Allah akan memberikan cobaan kepada siapa saja, apalagi terhadap orang-orang yang mengaku beriman, seperti difirmankan Allah dalam Surat (29) Al Ankabuut ayat 2: Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) rnengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
Sungguh berat untuk menjadi orang yang beriman karena Allah tidak main-main dalam menguji mereka. Perhatikan ayat Allah Surat (2) Al Baqarah ayat 155: Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadanya dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Ujian kesabaran dan ketakwaan sedemikian banyak wujudnya dan juga berat. Ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa (keluarga meninggal), sakit, fitnah, iri dengki, penghinaan, dan sebagainya. Dalam Surat (63) Al Munaafiquun ayat 9 Allah juga memperingatkan manusia tentang cobaan yang disebabkan oleh harta yang melimpah dan anak-anak: Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
Kelebihan harta sangat mudah menyesatkan manusia. Pun kasih sayang berlebihan terhadap anak-anak bisa berbuah mudharat terhadap anak-anak itu sendiri di samping tidak mendidik dan melalaikan manusia untuk mengingatAllah. Keinginan memperturutkan keinginan anak-anak tanpa kendali akan menjadikan manusia bekerja terlalu keras dan melupakan ibadah serta menabrak pagar aturan yang ada. Banyak sekali contoh hal ini yang kita temukan di dalam lingkungan kehidupan masing-masing. Wajar bila Allah memperingatkan hat ini secara khusus.
Cobaan dan musibah akan senantiasa menimpa umat Muslim. Satu hal yang pasti, semuanya itu datang dari Allah, yang bisa kita baca dari Surat (64) At Taghaabun ayat 11: Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Semakin tinggi kualitas ketakwaan seseorang, semakin berat pula cobaan yang dihadapi. Ujian demi ujian itu akan menentukan apakah manusia tergolong umat yang bertakwa atau tidak. Sebagian kecil manusia mungkin lulus dari ujian demi ujian itu, tetapi sebagian besar gagal menggapai derajat ketakwaan yang lebih tinggi. Mereka yang lulus memperoleh petunjuk dari Allah dengan tetap sabar sembari mengambil hikmah dari setiap ujian yang harus dilalui. Perhatikan firman Allah dalam Surat (2) Al Baqarah ayat 45 dan 46: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepadaNya.
Bagi mereka yang bertakwa, cobaan hidup dipandang sebagai satu hal yang patut disyukuri karena dengan demikian Allah masih sayang kepada kita. lngat Surat (64) At Taghaabun ayat 11 di atas, bahwa semua musibah datangnya dari Allah jua - bukan dari siapa-siapa. Simak pula Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Al Hakim dan lain-lain: Sesungguhnya Allah Ta'ala akan (mendatangkan) cobaan bagi onang mukmin dan tiadalah (maksud) cobaan-Nya itu melainkan sebagai kemuliaan baginya.
Kecuali menentukan ujian dan siapa yang memperoleh ujian tersebut, Allah telah menyatakan bahwa pada dasarnya ujian yang dibebankan kepada seseorang disesuaikan dengan kesanggupan orang itu, sebagaimana firman Allah dalam Surat (23) Al Mu'minuun ayat 62: Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu kitab yang membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya.
Firman Allah ini perlu kita camkan baik-baik karena manusia cenderung merasa setiap cobaan yang diberikan Allah terlalu berat untuk dipikul. Ayat Al Quran di atas menegaskan persepsi manusia itu salah besar. Pertama, persepsi bahwa cobaan itu terlalu berat untuk dipikul pada akhirnya menjadi keyakinan akal-budi sehingga cobaan itu akhirnya benar-benar berat adanya. Dengan sendirinya, daya dukung individu terhadap cobaan itu sudah melemah, bahkan sebelum cobaan itu mencapai titik puncaknya.
Kedua, meskipun sebetulnya setiap manusia dibekali kesanggupan untuk menerima cobaan itu, namun rendahnya kesadaran diri dan ketakwaan menyebabkan cara manusia menyikapi dan menjalani cobaan tidak pernah ikhlas dan pasrah. Tidak pernah muncul kesadaran diri bahwa cobaan datang dari Allah untuk menguji kesabaran dan ketakwaan kita dengan berusaha mengambil hikmahnya. Oleh sebab itu, jalan yang dipilih tidak lagi jalan yang penuh berkah dan keselamatan, melainkan-sebaliknya -jalan pintas yang akan menyengsarakan karena melenceng dari aturan transendental.
Dalam menghadapi setiap cobaan, kita harus yakin akan janji Allah di atas, bahwa beban diberikan-Nya kepada manusia sudah disesuaikan dengan kesanggupan manusia itu sendiri. Adalah tugas manusia untuk merespons cobaan itu dengan sikap dan perilaku yang sesuai dengan jalan Allah. Karena apa? Karena Allah telah menegaskan dalam Surat (94) Al Insyirah ayat 5: Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.
Bagi orang-orang yang bertakwa kepada Allah, mereka yakin sepenuhnya bahwa tidak selamanya kesulitan itu akan terjadi bila ditanggapi dengan benar menurut aturan Allah. Kesulitan itu akan ada akhirnya, dan akan berganti dengan kemudahan. Sikap ikhlas dan pasrah menjalani ujian akan memperoleh bayaran yang setimpal dari Allah SWT. Kita dilarang Allah untuk bersedih atau bahkan terpuruk dan salah jalan menyikapi setiap ujian dari Allah. Ingat firman Allah dalam Surat (3) Ali Imran 139: Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.
Tegar, sabar, terus berikhtiar, berdoa, bersyukur serta pasrah menerima ketentuanNya, sungguh mulia mereka yang berhasil mendapatkan resep utama kebahagiaan dunia-akhirat tersebut. Sebab, Allah telah berjanji dalam Surat (16) An Nahl ayat 110:
Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benarMaha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar